Dalam masyarakat Tionghoa tentang nilai-nilai ajaran Khonghucu, perempuan sering kali diperlakukan sebagai sosok yang lebih rendah dibandingkan posisi kaum laki-laki. Namun, seiring berjalannya waktu dan pengaruh luar mulai masuk ke masyarakat Tionghoa di Tiongkok pada masa lalu. Pada masa dinasti Song (960-1279), Tiongkok mengalami reformasi ajaran Khonghucu yang dikenal dengan Neo Konfusianisme.
Pada kebangkitan Neo Konfusianisme terjadi sebuah reformasi untuk memperbarui kode perilaku dan paradigma lama tentang ajaran Khonghucu, serta untuk memperbarui keyakinan masyarakat dengan cara hidup yang baru pada ajaran Khonghucu. Bagi kaum perempuan, kebangkitan Neo Konfusianisme berarti juga merupakan kelahiran kembali dari doktrin lama yang hanya dimaksudkan untuk membuat mereka tunduk pada dominasi laki-laki.
Namun, meskipun sebagian besar perubahan yang diperkenalkan oleh model Neo Konfusianisme dianggap bermaksud untuk merugikan kaum perempuan, tetapi kajian mendalam menunjukan bahwa Neo Konfusianisme juga telah turut membantu paradigma baru tentang peran perempuan yang dapat membuka pintu ke dalam wacana intelektual gerakan feminisme dengan menyapa perempuan secara langsung.
Jadi terlepas dari pandangan sekilas yang dianggap merugikan kaum perempuan disisi lain Neo Konfusianisme sebenarnya telah membantu peran perempuan kepada sebuah bentuk kemandirian dalam konteks masyarakat Tionghoa yang telah lama didominasi oleh kaum laki-laki.
Konfusius adalah seorang yang dianggap “Nabi” dalam tradisi Konfusianisme yang hidup sekitar tahun 551-479 SM. Dia mengajarkan bagimana menjadi manusia yang sejati yang bisa hidup harmonis dengan sesama manusia, alam semesta dan Pencipta.
Tema pemikiran Konfusius dibentuk dan dikanonisasi ketika sekelompok murid Konfusius memutuskan untuk mengkompilasi pelajaran yang telah mereka pelajari dari guru mereka. Salah satu bagian kitab suci mereka dari kumpulan Kitab Suci agama Khonghucu yang terdiri dari Sishu dan Wujing ialah Kitab Lunyu atau The Analects. Analects telah menjadi pusat wacana intelektual Tionghoa sekitar dua abad setelah wafatnya Konfusius.
Ajaran Khonghucu berpusat pada kepercayaan pada sifat manusia (human nature) yang secara inheren pada dasarnya adalah baik. Konfusius mengajarkan bahwa “surga” dapat digapai dengan melalui disiplin dan pembelajaran yang baik pada kitab-kitab Klasik (Sishu dan Wujing).
Dalam doktrin yang diajarkan oleh Konfusius, salah satu pesan utama adalah bagimana pentingnya berbakti. Dalam ajaran Konfusianisme tradisional, peran dan perilaku manusia diarahkan pada umumnya terhadap dominasi laki-laki dan bagaimana cara seorang laki-laki harus berbakti kepada orang tua mereka, yang adalah bagaimana kedisiplinan dalam berbakti seolah-olah hanya didefinisikan dan ditafsirkan menjadi domain kaum laki-laki saja.
Posisi seorang perempuan dideskripsikan hanya harus berbakti kepada orang tuanya, tetapi juga kepada mertuanya, suami, saudara laki-laki dan bahkan untuk putranya sendiri. Bagi kaum perempuan ini tentunya berarti sebagai sebuah penaklukan yang secara total, pertama-tama ia harus patuh kepada ayahnya, dan kemudian suaminya, dan akhirnya kepada putranya.
Di bawah aturan ini, perempuan tidak diizinkan untuk mengejar tujuan hidup mereka sendiri. Bahkan setelah kematian suami mereka, mereka tetap terikat oleh aturan berbakti untuk harus tetap selalu loyal kepada suaminya dan hidup sebagai janda atau bahkan juga dianggap lebih baik bagi seorang perempuan untuk melakukan tindakan bunuh diri, karena hal ini untuk menunjukkan kesalehan berbakti kepada suaminya.
Meskipun perempuan mungkin dapat menemukan cara-cara lain yang kecil kontribusinya untuk mengendalikan hidup mereka misalnya masih bisa memiliki kontrol atas anak-anaknya dan para asisten rumah tangga, sebagian besar dari mereka tetap saja selalu berada di bawah kemauan kehendak orang lain pada masyarakat. Seiring berlalunya waktu selama zaman dinasti Song, dalam upaya untuk mereformasi ajaran Konfusianisme para Intelektual mulai mengumumkan kebangkitan apa yang kemudian disebut oleh misionaris Yesuit di Tiongkok dikenal dengan sebutan Neo Konfusianisme.
Neo Konfusianisme melakukan penafsiran baru untuk ajaran yang sudah dianggap tidak sesuai dengan zaman dengan mengakomodir tradisi lain. Neo Konfusianisme menyerukan orang untuk mengintrospeksi paradigman lama dan mendorong masyarkat untuk berkontribusi nyata dalam amal perbuatan. Tujuan utama Neo Konfusianisme adalah sebagai sarana untuk melestarikan tatanan manusia dalam relasi keluarga dan pemerintahan serta memberi manfaat sambil memberikan kode etik pada masyarakat.
Neo Konfusianisme juga menekankan pendidikan dan di bawah pedoman ini mereka mendirikan banyak lembaga pendidikan yang sebanding dengan perguruan tinggi seni liberal pada saat ini.
Namun terlepas dari gerakan paradigma baru ini, banyak prinsip dasar Konfusianisme tetaplah sama dengan sebelumnya. Seperti halnya dalam konsep berbakti dalam ajaran Konfusianisme klasik tetap berada pada garis depan kode moral Neo Konfusianisme.
Dalam konsep aturan berbakti untuk anak-anak, peran perempuan jelas menyatakan harus patuh kepada laki-laki. Sebagai contoh, dalam buku berjudul The Book of Filial Piety for Women dijelaskan bagiman cara seorang perempuan harus memperlakukan suaminya.
“Sejak rambutnya ditata dan dia bertemu dengan suaminya [pada upacara pernikahan] dia harus mempertahankan formalitas yang sesuai tata cara antara pemimpin dan bawahan. Ketika membantu suami dalam mencuci atau menghidangkan makanan, perempuan harus mempertahankan penghormatan yang tepat antara ayah dan anak6. Jelas pada konsep ini perempuan tetap dianggap lebih rendah dari suaminya.
Perannya dalam hidup hanyalah untuk menyenangkan suami, melayaninya dan hanya untuk melahirkan putra-putranya, sehingga dapat menlanjutkan garis keturunan suaminya; dengan demikian hal ini semakin mengokohkan posisi perempuan hanya sebagai pusat pengurus rumah tangga dan keluarga.
Seperti dalam tradisi Konfusianisme klasik, jika suami dari seorang perempuan meninggal maka perempuan tersebut diharapkan tidak menikah lagi dan bahkan lebih baik didorong untuk bunuh diri. Pada zaman dinasti Song ada seorang tokoh Konfusianisme yang bernama Cheng Yi yang menyatakan bahwa lebih baik bagi seorang janda untuk mati kelaparan daripada harus menikah lagi.
Posisi perempuan di bawah pengaruh tradisi Konfusianisme memiliki sedikit atau bahkan tidak ada sama sekali kebebasan, sampai-sampai dalam kematian suaminya sekalipun perempuan tidak memiliki kendali atas nasibnya sendiri. Di masa ketika di Eropa perempuan mulai mendapatkan posisi kemandirian dengan boleh meninggalkan rumah dan keluarga akibat proses industrialisasi yang cepat, di Tiongkok pada saat yang sama perempuan menjadi lebih terikat pada rumah daripada sebelumnya, posisinya tetap di bawah kendali laki-laki. Satu-satunya industri yang dapat melibatkan peran perempuan ialah produksi tekstil rumahan. Perempuan disini diizinkan dan bahkan didorong untuk memelihara ulat sutera dan membuat kain tenun yang bisa dijadikan komoditi untuk perkembangan ekonomi di pasar.
Perempuan juga tidak dapat mengklaim warisan dari orang tua atau suami mereka dan hanya bisa hidup dalam belas kasihan anggota keluarga laki laki. Hal ini membuat posisi perempuan semakin rentan terhadap perilaku masyarakat patriarkal. Selain aturan kepatuhan perempuan kepada laki-laki, perempuan harus tetap tunduk pada sejumlah aturan dan harapan sosial dari masyarakat. Selain perannya hanya sebagai pengurus anak dan ibu rumah tangga, perempuan diharapkan untuk menjaga dan memelihara tradisi ritual leluhur.
Seperti kita ketahui bersama bahwa pemujaan leluhur adalah pusat dari sebuah keluarga dalam tradisi Neo Konfusianisme; ritual harus dilakukan bagi semua anggota keluarga laki-laki. Dasar-dasar dari apa yang diharapkan untuk upacara leluhur sebagian besar ditulis oleh pendiri Neo Konfusianisme yang bernama Zhuxi yang menyusun Kitab tentang Ritual Keluarga (Zhuzi jiali) dan sering dianggap sebagai pendiri Neo Konfusianisme.
Dalam Kitab Ritual Keluarga, diperjelas bahwa pengambil peran utama untuk ritual kuil leluhur dirumah haruslah dipimpin oleh perempuan. Karena pandangan betapa sangat pentingnya ritus-ritus ini, perempuan menghabiskan waktu yang sangat melelahkan dan membebani. Mereka dituntut untuk melakukan pemeliharaan dan semua urusan rumah tangga lainnya, namun justru perempuan dalam konteks ini adalah sebagai kunci utama untuk meningkatkan koherensi rumah tangga dalam tradisi Neo Konfusianisme.
Dengan cara ini seorang perempuan diposisikan lebih dekat ke dalam peranan rumah tangga dan keluarga melalui tugasnya dalam menjaga dan merawat kuil leluhur. Pada saat kebangkitan Neo Konfusianisme juga dikenal tradisi mengecilkan kaki. Mengecilkan kaki adalah praktik mengikat kaki perempuan, dimulai ketika mereka masih muda, sehingga lengkungan kaki menjadi patah dan jari-jari kaki dipaksa ke bawah dan terjepit bersama sampai seluruh kaki akhirnya mengecil dengan hanya memiliki panjang tiga inci. Praktek ini sangatlah menyakitkan dan menyiksa perempuan, tetapi menjadi simbol status penting karena hanya mereka yang memiliki uang dan sumber daya yang kuat yang mampu mengikat kaki putri mereka. Daya tarik mengecilkan kaki sebagian karena fakta bahwa tradisi tersebut membuat wanita lebih rentan. Karena para perempuan dengan kaki kecil tidak dapat berjalan atau bahkan berdiri tanpa usaha dan mengalami ketidaknyamanan yang cukup besar, mereka menjadi selalu terikat dan otomatis selalu dekat dengan rumah dan keluarga mereka, karena dengan demikian mereka secara fisik tidak dapat meninggalkan rumah untuk waktu yang lama.
Di bawah doktrin patriarki seperti itu, mungkin tidak tampak seolah-olah akan ada ruang bagi seorang perempuan untuk melatih pikirannya dan memperbaki dirinya secara intelektual, namun dengan caranya yang halus, Paradigma baru dari Neo Konfusianisme telah mengundang perempuan untuk melakukan hal itu. Terlepas dari aturan ketat yang diterapkan pada perempuan di bawah tradisi Neo Konfusianisme seperti yang terdapat pada Kitab Bakti untuk Perempuan dan Analects untuk Perempuan, ditulis untuk mengajarkan kaum perempuan dalam bahasa yang lebih langsung tentang peran mereka dalam masyarakat Neo Konfusianisme, telah menunjukkan kepada masyarakat untuk memahami pentingnya menarik peran perempuan sebagai orang yang mampu berpikir dan bertindak mandiri.
Jika kita memperhatikan dengan seksama yang oleh Ebrey, versi terjemahan Kitab Bakti dan Bakti untuk Wanita kita dapat melihat bahwa satu sisi yang secara langsung mengutip tidak memiliki belas kasih atau rasa hormat. terhadap perempuan. Bahkan hampir tidak disebutkan kata perempuan secara khusus; hanya membicarakan tentang peran ayah dan anak laki-laki, menteri dan pejabat dalam tadisi Konfusianisme Klasik. Dengan tidak menyebut kata perempuan sama sekali, itu telah menjadi perdebatan sendiri.
Namun, di bawah model Neo Konfusianisme peran perempuan dirinci untuk mencari pengetahuan mereka sendiri dan juga pengetahuan tentang laki-laki Dengan menerbitkan teks-teks yang diperuntukkan bagi perempuan, masyarakat diajak mengakui kemapuan perempuan untuk berpikir secara ini secara moral dan intelektual. Neo Konfusianisme telah ini mengundang perempuan ke dunia wacana intelektual.
Sebagai kesimpulan, kita dapat melihat bahwa Konfusianisme telah lama memainkan peran sentral dalam masyarakat Tionghoa sehingga tidak mengherankan bahwa kebangkitan Neo Konfusianisme memiliki peran besar dan dampak pada masyarakat luas, serta perempuan khususnya.
Peran perempuan di bawah Neo Konfusianisme, seperti pekerjaan rumah dan memimpin ritual leluhur, membuat mereka erat terikat dengan rumah dan mengajak keluar dari ruang publik. Namun, terlepas dari kenyataan bahwa doktrin Neo Konfusianisme juga tetap berusaha menjaga perempuan sebagai makhluk yang patuh dan tunduk pada kehendak lelaki, pesan ini disampaikan kepada para perempuan dan untuk membantu para perempuan ini agar mampu mengenali kemampuan intelektual mereka sendiri. Dengan menafsirkan paradigm baru untuk dipersembahkan kepada perempuan, Neo Konfusianisme dapat memulai wacana intelektual mereka sendiri, bahkan jika pada awalnya hanya terbatas pada urusan rumah tangga.
Para Tokoh Perempuan Khonghucu
1. Ibunda Konfusius (551 SM)
2. Ibunda Mengzi (289 SM)
3. Ibunda Yue Fei (1100 M)
4. Ban Zhao (49-120 M)
5. Auw Tjoei Lan, Indonesia (1889-1965)
Kristan, M.Ag
Rohaniwan Khonghucu
kristan@kristan.me
Notes
– Bray, Francesca. Teknologi dan Gender: Bahan-Bahan Kekuasaan di Akhir Kekaisaran Cina, (Berkeley: University of California Press, 1997)
– Ebrey, Patricia, Peradaban Cina; A Sourcebook, (New York: The Free Press, 1993)
– Fairbank, John King, China, A New History, (Cambridge: Harvard University Press, 1992)
– Mann, Susan, Under Confucian Eyes; Tulisan-tulisan tentang Gender dalam Sejarah Tiongkok, (Berkley: University of California Press, 2001)
– Wang Ping, Aching for Beauty, Footbinding in China, (New York: Anchor Books, 2000)